PERSELINGKUHAN
Perselingkuhan adalah hubungan antara individu baik laki-laki maupun
perempuan yang sudah menikah ataupun yang belum menikah dengan orang lain yang
bukan pasangannya. Walaupun demikian, pengertian "berselingkuh" dapat
berbeda tergantung negara, agama, dan budaya. Pada zaman sekarang, istilah perselingkuhan digunakan
juga untuk menyatakan hubungan yang tidak setia dalam pacaran.
Menurut Vaughan (2003)
menyebutkan bahwa perselingkuhan adalah keterlibatan seksual dengan orang lain
yang bukan merupakan pasangan resminya. Data yang diperoleh Hawari (2002)
menyebutkan bahwa perselingkuhan yang terjadi di Jakarta, 90% dilakukan oleh
suami dan 10% dilakukan oleh istri. Ia juga mengemukakan suami mulai
berselingkuh ketika usianya diperkirakan 40 tahun.
Perselingkuhan akhir-akhir ini menjadi bahan
perbincangan yang menarik dan santer, sebab perselingkuhan itu sendiri tidak
hanya didominasi oleh para pria, tetapi juga wanita di segala lapisan dan golongan,
bahkan tidak memandang usia. Sebenarnya fenomena ini tidak hanya terjadi di
kota-kota besar seperti halnya Jakarta, tetapi juga di kota-kota kecil atau pun
di daerah. Masalahnya, berita-berita mengenai perselingkuhan lebih banyak
disorot di kota besar karena di kota besar seperti halnya Jakarta segala
sesuatu lebih transparan termasuk dalam hal batasan norma-norma. Di kota besar
seperti Jakarta, segala hal bisa bersifat relatif; artinya, segala sesuatu
tidak bisa dinilai dari satu sudut pandang saja.
Alasan
Mengapa orang berselingkuh
Setiap orang yang menikah sudah tentu mendambakan dan mencita-citakan
bisa menempuh kehidupan perkawinan yang harmonis. Namun bagaimana pun juga,
kita tidak bisa melupakan bahwa sebuah perkawinan pada dasarnya terdiri dari 2
orang yang mempunyai kepribadian, sifat dan karakter, latar belakang keluarga
dan problem yang berbeda satu sama lain.
Semua itu
sudah ada jauh sebelum keduanya memutuskan untuk menikah. Oleh karena itu,
tidak mengherankan jika kehidupan perkawinan pada kenyataan selanjutnya tidak
seindah dan seromantis harapan pasangan tersebut. Persoalan demi persoalan yang
dihadapi setiap hari, belum lagi ditambah dengan keunikan masing-masing
individunya, sering menjadikan kehidupan perkawinan menjadi sulit dan hambar.
Jika sudah demikian, maka kondisi itu semakin membuka peluang bagi timbulnya
perselingkuhan di antara mereka.
Ada beberapa alasan umum
seseorang berselingkuh :
a) ingin melarikan diri secara emosional dari
pasangannya.
b) ingin bertualang dan ingin mengetahui seperti apa
berhubungan seks dengan orang yang bukan pasangannya.
c) marah, dendam atau permusuhan yang terpendam
terhadap pasangannya.
d) ingin melakukan lebih banyak seks atau hal-hal yang
menyerupai perbuatan seksual yang tidak ia dapatkan atau berbeda dari
pasangannya.
Debbie Layton-Tholl, seorang
psikolog, pada tahun 1998 meneliti alasan-alasan terjadinya perselingkuhan di
antara pasangan setelah sekian lama menikah. Menurut Debbie, biasanya orang
memakai alasan mengapa dirinya berselingkuh
adalah karena :
1.
merasakan ketidakpuasan dalam kehidupan perkawinan
2.
adanya kekosongan emosional dalam kehidupan pasangan
tersebut
3.
problem pribadi di masa lalu
4.
kebutuhan untuk mencari variasi dalam kehidupan seksual
5.
sulit untuk menolak “godaan”
6.
marah terhadap pasangan
7.
tidak lagi bisa mencintai pasangan
8.
kecanduan alkohol atau pun obat-obatan
9.
seringnya hidup berpisah lokasi
10. dorongan
untuk membuat pasangan menjadi cemburu
Adapun faktor penyebab terjadinya
selingkuh yaitu antara
lain :
1. Faktor Internal
a). Konflik dalam perkawinan yang tidak kunjung
selesai dan terus-menerus oleh perbedaan latar belakang pendidikan, perkembangan
kepribadian, subkultur, serta pola hidup, yang menyebabkan ketidakserasian
relasi antarpasangan.
b). Kekecewaan oleh berbagai macam sebab seperti sifat
yang berbeda, cara berkomunikasi yang kurang terasa pas
c). Ketidakpuasan dalam kehidupan seksual oleh
disfungsi seksual atau penyimpangan perilaku seksual lainnya.
d). Problema finansial.
e). Persaingan antarpasangan baik dalam karier dan
perolehan penghasilan.
2. Faktor External
a). Lingkungan pergaulan yang mendorong seseorang
untuk mengambil keputusan mencoba menjalin hubungan perselingkuhan, demi tidak
mendapat sebutan STS (suami takut istri) di kalangan rekan sepergaulannya.
b). Kedekatan dengan teman lain jenis ditempat kerja
yang berawal dari saling mencurahkan kesusahan dan kekecewaan dalam rumah
tangga. Dari curhat, terjalin kedekatan emosional yang berlanjut dengan kontak
fisik intim.
c). Godaan erotis-seksual dari berbagai pihak, rekan
kerja dan teman dengan motif tertentu.
Perselingkuhan dengan atau tanpa hubungan seks mudah
untuk ditemukan, bahkan untuk dilakukan. Perselingkuhan tak
memandang status sosial, tingkat pendidikan, jabatan, bidang profesi, domisili,
bahkan gender. Semoga artikel selingkuh dan perselingkuhan ini bisa anda
gunakan sebagai referensi untuk mencegah dan mengatasi pasangan yang selingkuh.
Beberapa kasus
perselingkuhan dari segi pekerjaan :
- Profesi: PNS
Profesi ini bisa dikatakan sebagai jawara pelaku selingkuh,
banyak kasus perselingkuhan PNS diberitakan di media massa. Seperti salah
satunya dikutip dari ANTARA News, “Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten
Boyolali pada tahun 2008 telah merekomendasikan pemecatan terhadap 12 pegawai
negeri sipil (PNS) setempat karena mereka telah melanggar disiplin kepegawaian.
Ke-12 PNS tersebut di antaranya diberi sanksi akibat melakukan selingkuh dan
ada yang tidak masuk kerja selama 15 tahun karena sakit jiwa,” Minggu (31/08)
2008.
- Profesi: Pengacara
Profesi ini tak pernah jauh dari berita perselingkuhan dengan
kliennya. Intip saja kasak kusuk yang sedang marak dibicarakan saat ini,
sirkuit asmara yang terjalin antara Sunan Kalijaga dan artis cantik Jennifer
Dunn yang sedang tersandung tuduhan kasus narkoba.
- Profesi: Atlet
Sportif di lapangan belum tentu sportif di arena percintaan.
Tercatat beberapa nama besar seperti John Terry, pria tegap dengan tinggi 188
cm yang menduduki posisi sebagai bek tengah di klub Chealsea F.C ini terbongkar
perselingkuhannya dengan model cantik Vannessa Peroncel, mantan kekasih Wayne
Bridge.
- Profesi: Aktor
Berbicara soal selebriti yang memang hidup dalam gemerlapnya
dunia keartisan, mungkin sudah bukan suatu hal yang baru jika ada kata
selingkuh. Kilas balik beberapa nama aktor yang sempat kepergok selingkuh
seperti, Rhoma Irama, Tora Sudiro, Ferry Irawan, Arie, Mandala Shoji, dan Indra
birowo
- Profesi: Pejabat negara
Profesi mulia ini ternyata tak serta merta membuat seseorang
berubah menjadi sosok yang selalu bertanggung jawab dan diteladani. Jika rocker
itu manusia, pejabat juga manusia biasa, yang punya hasrat dan bisa selingkuh.
Sebut saja beberapa nama seperti, Al-Amien (mantan suami pedangdut Kristina),
Yahya Zaini dan Maria Eva, sampai tokoh besar seperti John Edward (saingan
berat Barack Obama dari Partai Demokrat) yang terbukti melakukan
perselingkuhan.
- Profesi: Guru
Guru, digugu dan ditiru, tetapi sebaiknya untuk hal yang satu
ini tidak untuk ditiru. Dikutip dari ANTARA News, “Seorang Kepala SMP di
Jatiwangi Majalengka, Jabar, ES (47) dilaporkan ke Polisi diduga terkait
perselingkuhan dengan istri orang bernama ML (34). Kedua tersangka tersebut
ditangkap polisi di rumah kos ML, Jumat sekitar pukul 02.30 WIB,” Jumat,
(22/05) 2009.
- Profesi: Penegak Hukum
“Dua kapolsek, Kapolsek Sleman AKP Rahmawati Wulansari (30)
dan Kapolsek Melati AKP Adib Rojikan (30), dinyatakan terbukti bersalah
melakukan pelanggaran asusila yaitu berselingkuh, pada sidang kode etik yang
digelar, Rabu (25/06) 200b, seperti dikutip dari ANTARA News. Menjaga dan
melindungi seseorang dari tindak kriminal mungkin lebih mudah bagi para super
hero ini ketimbang menjaga hasrat hati sendiri.
Ketidakpuasan dalam Kehidupan Perkawinan Karena Harapan dan Impian akan
Romantisme
“Harapan yang terlalu tinggi terhadap pasangan
dan terhadap kehidupan perkawinan itu sendiri dapat menjadi boomerang bagi
kelangsungan hidup perkawinan seseorang”
Banyak
orang terlalu cepat merasa tidak puas dalam kehidupan perkawinan yang mungkin
baru saja dijalani beberapa saat. Seringkali mereka tidak sadar, bahwa mereka
sendiri lah yang membuka peluang bagi ketidakpuasan tersebut karena sejak awal
mereka sudah menaruh harapan dan impian yang terlalu tinggi baik terhadap
pasangan maupun terhadap kehidupan perkawinan itu sendiri. Setelah mereka
menghadapi kenyataan hidup yang sebenarnya, mereka lantas merasa kecewa dan
mulai menyalahkan pasangannya.
Seringkali
mereka lupa, bahwa ketidakmatangan pribadi mereka sendiri lah yang ikut
mempengaruhi dinamika yang terjadi dalam menghadapi setiap persoalan rumah
tangga. Lama kelamaan, karena masing-masing tidak berusaha untuk memperbaiki
diri malah mencari hiburan dan kompensasinya sendiri, maka cinta yang menjadi
pengikat di antara mereka semakin pudar. Bagaimana pun juga, jika dalam sebuah
keluarga atau pun perkawinan sudah tidak diwarnai oleh perasaan cinta dan
afeksi terhadap pasangan, mudah sekali timbul kebosanan di antara mereka. Jika
kebosanan itu tidak segera ditanggulangi, maka lambat laun akan
mempengaruhi sikap dan perilaku interaksi serta komunikasi antara pasangan
tersebut. Sikap apatis, pasif atau bahkan pasif-agresif bisa menjadi indikasi
adanya masalah dalam kehidupan perkawinan seseorang. Emotional divorce banyak dialami oleh keluarga-keluarga mulai dari
keluarga baru hingga keluarga yang sudah bertahun-tahun lamanya sehingga cinta
kasih yang menggebu pada akhirnya padam dan menjadi dingin. Meskipun secara
fisik pasangan suami istri tersebut tidak hidup secara terpisah (masih tinggal
serumah), namun secara emosional sudah terdapat jarak yang membentang. Dengan
pudarnya cinta di antara mereka, semakin longgarlah ikatan dan komunikasi di
antara suami istri tersebut sehingga mendorong salah satu atau keduanya untuk
mencari seseorang yang dapat memenuhi kebutuhan, entah itu kebutuhan emosional
maupun kebutuhan fisik seperti kebutuhan seksual.
Perselingkuhan
karena Problem Pribadi di Masa Lalu
Perselingkuhan
yang terjadi antara suami istri sebenarnya tidak lepas dari urusan pribadi
masing-masing. Perlu disadari, bahwa dalam perkawinan terdapat dua orang yang
punya karakter dan kepribadian yang sangat berbeda satu sama lain sebagai hasil
bentukan dari pola asuh orang tua di masa lalu, pengaruh lingkungan dan juga
unsur genetika (keturunan).
Banyak dari
kita yang belum menyadari, bahwa ternyata diri kita sendiri sebenarnya
merupakan pangkal dari semua masalah akibat ketidakmatangan emosi dan ketidakharmonisan
(konflik) yang sedang terjadi dalam hidup kita secara pribadi. Sayangnya, kedua
hal tersebut sering belum selesai bahkan sampai memasuki dunia perkawinan.
Memang di awal perkawinan semua tampak manis dan harmonis karena keduanya masih
berusaha menampilkan diri sebaik-baiknya. Namun lama kelamaan, ibarat orang
menggunakan topeng terus-menerus sehingga akhirnya kecapaian sendiri, maka sama
saja halnya dengan kehidupan suami istri. Lama-lama kita akhirnya harus
berhadapan tidak saja dengan realita tentang pasangan, tetapi juga realita diri
sendiri. Kita tidak bisa berlama-lama sembunyi di balik kepalsuan karena hal
itu sangat menguras energi. Lama- kelamaan, keluarlah keaslian diri kita yang
tercermin dalam sikap, perilaku dan pola pikir yang termanifestasi setiap hari,
seperti dalam memandang dan menyelesaikan persoalan, mengambil keputusan,
mempersepsi suatu keadaan, nilai dan prinsip yang dimilikinya, mekanisme
pertahanan diri dalam menghadapi tekanan, dalam berinteraksi dengan pasangan
dan orang lain, pola asuhnya terhadap keturunannya sendiri, proses penyesuaian diri, kesehatan mental,
masalah kejiwaan yang muncul di kemudian hari, bahkan mempengaruhi pemilihan
terhadap pasangan hidup.
Jadi,
sebenarnya jangankan mengurus diri orang lain, mengurus diri sendiri itu lah
yang paling sulit karena berhadapan dengan diri sendiri adalah situasi yang
sama sekali tidak menyenangkan bagi kebanyakan orang. Lama-kelamaan, diri kita
yang asli mulai menuntut pasangan kita untuk memenuhi kebutuhan kita dan memperlakukan
kita seperti yang kita inginkan. Kalau kita pelajari secara mendalam, mungkin
kita akan temukan adanya benang merah antara bagaimana orang tua kita dahulu
memperlakukan kita dan memenuhi kebutuhan (emosional dan fisiologis) kita
dengan tuntutan kita terhadap pasangan. Ketidakmatangan emosi yang mungkin
masih menjadi bagian dari diri kita pada dasarnya merupakan akibat dari proses
perkembangan psikologis selama masa pertumbuhan; dan hal itu juga diwarnai oleh
pola asuh orang tua, terutama pada masa-masa awal kehidupan seseorang.
Ambil saja
contohnya, jika sejak kecil seorang anak tidak memperoleh kasih sayang dan
tidak mendapat pemenuhan kebutuhan terutama kebutuhan emosional, maka dalam
perkembangan selanjutnya (jika selama proses kehidupan selanjutnya situasi ini
konstan dan tidak ada perubahan yang positif), ia juga akan tumbuh menjadi
orang yang sulit untuk menunjukkan afeksi, kasih sayang dan perhatian pada
orang lain; bahkan bisa saja muncul elemen ketidakmampuan untuk mempercayai
orang lain karena waktu masih kecil, tidak ada satu orang pun yang bisa ia
percayai (bahkan kedua orang tuanya) yang secara konstan hadir baginya dan
mampu memberikan kasih sayang serta perhatian secara konstan. Jadi, kelak pada
saat ia mencari pasangan, dalam alam bawah sadarnya tindakan ini dilandasi oleh
keinginan dan kebutuhan untuk selalu diperhatikan. Agar ia dapat memastikan
bahwa pasangannya itu selalu ada setiap saat ia membutuhkan (tidak seperti
orang tuanya dahulu), maka biasanya akan muncul kemudian sikap-sikap seperti
kecemburuan yang berlebihan, terlalu membatasi kegiatan pasangan, kecurigaan
dan kekhawatiran berlebihan terhadap kesetiaan pasangan, keinginan untuk selalu
diprioritaskan dalam setiap perkara dan tuntutan untuk selalu diperhatikan dan
dipenuhi keinginannya. Jika sang pasangan punya sikap dan tindakan yang di luar
keinginannya, ia kemudian merasa dikhianati, diacuhkan, merasa tidak
diperhatikan, merasa dirinya tidak penting lagi, merasa dirinya tidak lagi
dicintai, merasa pasangan sudah tidak menaruh hormat lagi padanya, merasa diri
sudah tidak lagi menarik bagi pasangan, bahkan merasa dirinya hendak
disingkirkan secara perlahan-lahan. Pikiran-pikiran negatif tersebut akhirnya
berputar-putar dalam benaknya sehingga secara tidak sadar ia jadi terlalu
sensitif dalam menanggapi kejadian yang sebenarnya masih normal dan wajar.
Misalnya, ketika suami harus pergi ke acara sendirian (karena sifatnya yang
formal), istrinya kemudian berpikir dirinya sengaja tidak diajak karena
suaminya ingin mengajak wanita lain, atau merasa suaminya malu membawa dirinya
yang dirasa sudah tidak menarik lagi, atau karena tingkat pendidikannya tidak
sebanding dengan suami atau rekan kerjanya sehingga takut obrolannya tidak nyambung.
Karena sering
terjadi hal-hal demikian, maka dapat dipastikan akan timbul kejengkelan
dan salah paham yang tidak ada ujung pangkalnya karena masing-masing bersikukuh
pada pendapat dan keyakinannya sendiri. Akibatnya, pihak yang tadinya tidak
punya maksud apa-apa, jadi kesal, marah dan merasa lelah akan sikap
pasangannya. Lantas, yang tadinya memang pulang larut malam karena tuntutan
pekerjaan, akhirnya sering pulang malam mencari hiburan untuk melepaskan diri
dari stress di rumah. Dan karena setiap orang pada suatu saat perlu seseorang
yang dapat menjadi curahan emosi, terbukalah jalan baginya untuk mencari
substitusi dari pasangan yang sudah tidak bisa lagi menjadi teman bicara yang
enak. Kalau ternyata ada seseorang yang mampu memberikan perhatian dan
pengertian yang selama ini tidak ditemukan dalam diri pasangannya yang kerjanya
di rumah hanya marah-marah, maka terbukalah kesempatan untuk menciptakan
hubungan yang melibatkan faktor emosi, Jika sudah demikian, terjadilah
perselingkuhan yang selama ini ditakuti atau
pun menjadi bahan kecurigaan istri. Hal ini lah yang diistilahkan dalam
psikologi sebagai self-fulfilling prophecy.
Pola
Yang Berulang
Tanpa sadar, ada sebagian dari diri kita yang juga ada pada diri kedua
orang tua kita dan akhirnya mewarnai hubungan kita baik dengan istri atau suami
dan dengan anak-anak. Coba saja kita bayangkan. Apakah cara kita mengasuh
anak-anak ada kemiripan dengan cara kita dahulu diasuh dan dididik oleh ayah
dan ibu kita ? Atau apakah cara kita berkomunikasi atau berinteraksi dengan
istri/suami hampir sama atau ada hal-hal yang sama dengan cara orang tua kita
dahulu berinteraksi satu sama lain ? Yang lebih ekstrim lagi, kita coba
memperhatikan, apakah sikap dan perilaku anak kita ada kemiripan dengan sikap
dan perilaku kita dahulu (coba saja tanya pada orang tua kita) ?
Dari situ kita bisa menyimpulkan, bahwa apa yang dialami oleh diri kita
dan perkawinan kita saat ini, bukanlah merupakan kasus tunggal yang terjadi
begitu saja. Semua itu ada hubungan sebab akibatnya dengan masa lampau. Jadi,
semua problem psikologis, termasuk ketidakmatangan emosional maupun
konflik-konflik dalam diri sendiri pada dasarnya punya akar di masa lalu. Kita
memang tidak boleh begitu saja menyalahkan kedua orang tua kita yang sudah
susah payah mendidik dan membesarkan kita dengan tulus hati, karena bagaimana
pun juga hal itu bukanlah kesalahan mereka sepenuhnya, dan lagi mereka juga
tidak melakukannya dengan kesadaran karena pola yang mereka terapkan pada diri
kita, juga mereka terima dari kedua orang tua mereka di masa lalu.
Selama kedua pihak masih bisa berpikir jernih, dan mau memeriksa diri,
maka kemungkinan besar masih bisa mengendalikan diri untuk mencegah terjadinya
konflik yang berkepanjangan baik itu yang terpendam maupun secara terbuka.
Namun, jika salah satu pihak atau bahkan keduanya sudah menutup diri terhadap
penyelesaian masalah karena merasa diri yang paling benar dan pasangan kita
yang salah, maka hal itu tidak hanya akan mengakibatkan memburuknya hubungan
perkawinan, namun bahkan yang lebih serius, tidak membuat masing-masing
bertumbuh dalam pribadi yang lebih dewasa dan matang setelah mampu menerima dan
kemudian mengolah elemen-elemen negatif diri sendiri untuk kemudian
mentransformasikannya menjadi sesuatu yang positif bagi pertumbuhan jiwa yang
sehat. Kegagalan untuk mempertumbuhkan diri sendiri inilah yang akhirnya akan
membawa pada kegagalan selanjutnya meskipun misalnya orang tersebut menikah
lagi. Oleh karena itu, sering kita mendengar ada orang-orang yang berulang kali
kawin-cerai dan selalu karena masalah yang kurang lebih sama sifatnya. Masalah
itu bukan hanya terletak pada orang lain, tapi justru kemungkinan besar
terletak pada diri sendiri yang tampaknya sudah waktunya untuk menjalani
transformasi.
Perselingkuhan
Untuk Memenuhi Kebutuhan Seksual
Menurut Debbie
Layton-Tholl, seorang psikolog, perselingkuhan yang dilakukan oleh orang-orang
yang sudah menikah pada dasarnya tidak semata-mata didasarkan pada kebutuhan
untuk mencari kepuasan seksual. Alasan
yang terakhir di sebut itu malah mempunyai persentase terendah dibandingkan
dengan alasan yang lain. Alasan paling besar dan kuat yang mendorong perilaku
orang untuk selingkuh 90% karena tidak terpenuhinya kebutuhan emosional dalam
hubungan antara suami istri. Kebutuhan seksual bukanlah menjadi alasan pertama
dan utama, tapi justru muncul setelah terjadinya kehancuran emosional dalam
kehidupan perkawinan seseorang karena orang tersebut mencoba mencari orang lain
yang dapat memenuhi kebutuhan emosional. Jadi, perilaku seksual yang sering
mewarnai affair atau pun
perselingkuhan sebenarnya merupakan sarana untuk memelihara dan mempertahankan affair tersebut, dan bukan menjadi
alasan utama.
Sumber :
http//images.dank5.multiply.multiplycontent.com
di unduh 2 Desember 2012 (8:45PM)
dan berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar