Selasa, 17 Juli 2012

Dunia Pendidikan bukan Kandang Anak Kambing yang Merubahnya Menjadi Anak Singa



Sebelum membahas tentang faktor penentu kualitas pendidikan, alangkah baiknya jika dibahas terlebih dahulu tentang definisi kualitas pendidikan yang baik itu. Kualitas sendiri hampir sama dengan kata ‘mutu’ atau tingkatan baik dan buruknya sesuatu. Akan tetapi jika kita kaitkan dalam dunia pendidikan kualitas ini mengacu pada proses pendidikan dan juga pada hasil dari pendidikan itu sendiri. Jadi dapat dikatakan bahwa definisi kualitas pendidikan disini menyangkut kemampuan sekolah sebagai lembaga pendidikan dalam mengoptimalkansumber-sumber pendidikan untuk meningkatkan kemampuan belajar peserta didikseoptimal mungkin baik dari segi intelektual maupun perilaku yang ditampilkan oleh peserta didik serta kualitas pendidikan itu tidak hanya hasil dari pendidikan saja tetapi semua aspek yang menunjang pendidikan itu mengalami peningkatan kearah yang lebih baik.


Akan tetapi pada kenyataanya kualitas pendidikan saat ini belum mampu menyetak sumber daya manusia yang berkualitas. Berkualitas yang dimaksud di sini adalah dari segi budi pekerti, perilaku dan tindakan. Sebagian dari mereka masih meningkatkan kemampuan pada aspek kognitif saja dan mengabaikan aspek lain. Dan hasilnya, di Indonesia ini mencetak ahli yang pandai-pandai luar biasa, tetapi perilaku mereka “tidak sehat” misalnya tawuran, demonstrasi yang anarki, dan yang paling fenomenal saat ini adalah korupsi. Kita tidak menutup mata, bahwa mereka yang korupsi adalah orang-orang yang pandai dan berpendidikan tinggi. Itukah hasil yang benar-benar diharapkan dari dunia pendidikan?
Dapat dilihat dalam koran Kompas, Selasa 20 September 2011 halaman 26, terdapat pembahasan tentang “Kalau Siswa Brutal, Guru Perlu Dipertanyakan”,. Disana Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto mengatakan, “kalau anak-anak sekolahnya brutal, maka guru-gurunya perlu dipertanyakan sebab guru bukan cuma mengajarkan pelajaran tetapi juga perilaku.” Disana dibahas tentang tawuran yang sering terjadi antar pelajar, hal ini sungguh sangat mencoreng dunia pendidikan. Pendidikan yang seharusnya membentuk moral dan karakter malah seperti membentuk para penguasa rimba, apakah ini yang kita harapkan dari hasil pendidikan? Siapakah dalam hal ini yang harus bertanggungjawab?
            Dunia pendidikan bukan hanya mendidik seorang anak menjadi seorang pandai dan pemberani, dan jika diibaratkan seperti merubah anak kambing menjadi anak singa. Tetapi dunia pendidikan ini diharapkan menjadi sarana untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki seorang anak dalam hal ini peserta didik baik dari aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Jadi  bukan hanya meningkatkan kepandaiannya saja tetapi spiritualnya juga dibangun, sehingga bisa menjadi generasi yang benar-benar pantas disebut sebagai “generasi penerus bangsa”.
Kualitas pendidikan saat ini masih sangat ditentukan oleh beberapa faktor, yang pertama adanya guru yang berkualitas. Guru yang berkualitas yang dimaksud adalah seorang guru yang disamping mengajar dia juga mampu mendidik, dalam hal ini mendidik moral bagi para peserta didiknya. Seorang guru hendaknya mampu menjadi contoh yang baik bagi peserta didik. Misalnya dalam hal kecil saja, guru duduk ditepi meja saat menerangkan, itu saja sebenarnya sudah memberikan suatu pendidikan sopan santun yang salah, duduk itu di kursi, bukan di meja. Ini ada kaitannya dengan membentuk generasi yang hebat, jika ingin membentuk generasi yang jenius dan beradap maka yang ditata lebih dahulu adalah karakternya.
Faktor yang kedua, kualitas pendidikan juga harus ditunjang dengan adanya bahan ajar dan buku yang bermutu. Jika buku-buku yang ada adalah buku jadul serta bahan ajar yang digunakan menggunakan bahan ajar yang itu-itu saja, maka peserta didik tidak akan berkembang. Sebagaimana kita ketahui bahwa ilmu pengetahuan itu berkembang, maka semua bahan ajar juga harus up to date sesuai dengan tuntutan zaman. Yang ketiga adalah sarana dan prasarana yang mendukung, banyak dari kita adalah menjadi sarjana teori. Hafal teori dari A sampai Z, tetapi tidak mampu menerapkannya dalam dunia kerja karena waktu sekolah sarana dan prasarana yang kurang mendukung. Mungkin di kota besar sarana dan prasarana sudah maju, tetapi bagaimana dengan daerah pinggiran dan pedesaan? Bukankah itu juga memerlukan guna meningkatkan kualitas pendidikan?
Dan yang terakhir, disamping diberikan ilmu pengetahuan yang modern, peserta didik juga dijarkan tentang pendalaman ajaran agama dan budaya kearifan lokal di daerah tempat ia tinggal. Dalam semua ajaran agama, pasti menekankan untuk selalu melakukan tindakan terpuji dan menjauhi tindakan tercela. Jika anak telah diajarkan tentang agama, maka dapat meminimalisir pengaruh buruk globalisasi yang saat ini mau tidak mau harus dihadapi. Begitu juga dengan budaya kearifan lokal, saat ini rasa nasionalisme anak Indonesia hanyalah nasionalisme semu. Tiada salahnya jika peserta didik diajak untuk bangga terhadap kebudayaan yang ada disekitarnya. Karena di dalam sebuah budaya kearifan lokal ada nilai-nilai kejujuran, kesopanan, menghargai dan tolong-menolong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar