Senin, 12 Maret 2012

Aturan Kakek Membuatku Mempunyai Saudara Kembar Raksasa


Tema : Investasikan Energimu untuk Bumi
Judul : Aturan Kakek Membuatku Mempunyai Saudara Kembar Raksasa

Sebelum membahas yang serius-serius, lebih baik menceritakan terlebih dahulu tentang rumahku yang terletak di perbukitan daerah Wonogiri. Kalau dibandingkan dengan Jakarta, wah...sangat beda jauh, bukan hanya dari kemoderenan hidup tapi dari segi udara yang bersih berkualitas. Di daerahku masih hijau dan sejuk , masih banyak pohon-pohon yang berdiri kokoh dan hewan liar yang masih sering dijumpai. Kalau sudah penat dengan semua tugas kuliah, liburan di kampung halaman menjadi obat yang paling manjur untuk menyegarkan kembali pikiran dan hati.
Oiya, berbicara tentang hutan dan kehijauan daerahku, aku sampai lupa menceritakan saudara kembarku. Tidak seperti aku yang hanya memiliki tinggi 150cm, saudaraku lebih tinggi berkali-kali lipat lho. Pasti bingung khan, bagaimana ceritanya aku bisa mempunyai saudara kembar yang raksasa. Dan yang lebih hebat lagi, semua orang dalam keluarga ku pasti memiliki saudara kembar raksasa. Eits.....ini nyata bukan sedang bercerita tentang negeri dongeng yang ada kurcaci dan raksasanya.
Jadi lebih lengkapnya seperti ini, kakekku yang terkenal sangat disiplin dan tegas memiliki aturan yang unik dalam mendidik putra putrinya, cucu-cucunya, maupun cicit-cicitnya, termasuk aku.
Setiap anak yang baru lahir dalam keluargaku dari zaman kakek punya anak pertama sampai sekarangpun kakek mewajibkan untuk menanam satu batang pohon di ladang ataupun di pekarangan rumah. Artinya setiap satu kehidupan baru, harus juga diiringi satu kehidupan baru pula. Maka baik ibuku, pamanku, bibiku, keponakanku pasti mempunyai satu “saudara kembar”.
            Pemikiran kakek pada saat itu bukan untuk reboisasi atau mensukseskan program Go Green sih, tetapi jika setiap anak mempunyai satu pohon, itu berarti saat dewasa dia telah memiliki tabungan. Terserah akan dipakai modal untuk berumah tangga atau akan digunakan untuk membangun rumah, begitulah pemikiran kakekku, sederhana tetapi ternyata memiliki manfaat yang sangat besar. Tidak hanya sampai disitu, saat kita memasuki masa kanak - kanak kakek juga mewajibkan kami merawat pohon tersebut meski baru sederhana, misalnya tidak boleh memangkasnya, harus membersihkan dari rumput liar, dan kalau musim kemarau harus menyiraminya.
            Pasti ada yang berfikir apakah memang bisa pohon jadi tabungan? atau mungkin pertanyaannya sebesar apa pohonnya? Kembali pada sosok saudara kembarku, pada saat aku lahir bibit yang ditanam di timur pekarangan rumahku adalah bibit sengon laut, pohon sengon yang batang pohonnya berwarna putih di daerahku disebut sengon laut, mungkin ditempat lain sebutannya berbeda. Tidak hanya pohon sengon laut saja sebenarnya yang biasanya kami tanam, terkadang pohon jati, pohon kelapa, pohon mahoni dan sebagainya. Jadi jika dibandingkan dengan orang-orang sedesa, keluarga kamilah yang memiliki jumlah pohon pribadi paling banyak.
Kalau dihitung-hitung usia saudara kembarku itu juga sama denganku, yaitu 21 tahun. Tingginya mencapai 25 meter, bahkan lebih, diameternya hampir 1 meter. Pohonnya sampai sekarang masih kokoh menjulang tinggi, saking besarnya sampai-sampai saya sendiri bingung, jika saya menikah nanti akan saya buat apa pohon sebesar itu. Mungkin saya akan biarkan saja, siapa tahu akan menjadi pohon raksasa dan terkenal.
            Itulah sepenggal cerita tentang kebiasaan positif yang diajarkan oleh kakek ku, hal yang jarang saat ini dijumpai. Banyak orang yang memilih merayakan dan berhura-hura saat menyambut kelahiran seorang anak dan tanpa terasa hal seperti itu mendidik anak untuk menjadi orang yang konsumtif, konsumtif terhadap berbagai hal sampai-sampai memanfaatkan kekayaan alam kalau perlu sampai habis dan mendapat keuntungan yang berlimpah. Dan jika terjadi tanah longsor, banjir, sungai meluap dan bencana alam lainnya mereka hanya menyalahkan orang lain. Mengapa mereka tidak melihat pada diri sendiri? “apakah saya sudah membuang sampah pada tempatnya?”, “apakah saya telah menjaga kelestarian lingkungan?”, atau mungkin “apakah saya termasuk orang merusak lingkungan?”. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu wajib kita kembalikan kepada diri kita sendiri. Terkadang saja kita lupa, sehabis makan cemilan atau permen secara sengaja ataupun tak sengaja “pluuk”, membuang sampahnya begitu saja.
Apakah kita berfikir, “ah cuma sampah kecil, tidak ada efeknya untuk lingkungan”. Iya, tidak ada efeknya jika itu sampah organik, tapi jika yang kita buang sampah plastik, apa yang terjadi? Bumi sih selalu menerima apa yang kita buang diatasnya, dia tidak mengeluh pada kita sama sekali. Tetapi yang hidup di atas bumi bukan hanya kita, kalau ada sampah plastik, dimana cacing akan hidup? kalau cacing tidak hidup, siapa yang akan menyuburkan tanah? Kalau tanah tidak subur, tanaman tidak akan tumbuh dengan baik dan jika tanaman tidak tumbuh dengan baik, kita akan memakan apa? Itu baru sebagian dampak yang ditimbulkan jika kita sama sekali tidak menghargai alam. Alam sudah memberikan banyak manfaat kepada kita, apakah kita tega selalu merusaknya?
Maka mulai dari sekarang, tidak hanya generasi muda, tapi sampai yang tua dan anak-anakpun mari bersama-sama menjaga lingkungan. Kalau tidak bisa menanam satu batang pohon karena keterbatasan lahan, cobalah untuk membuang sampah pada tempatnya. Yang terpenting adalah menumbuhkan kesadaran akan menjaga lingkungan mulai dari diri kita sendiri. Karena jika kita tidak bisa mengubah orang lain untuk mengikuti sebuah aturan yang baik, lebih baik memulai dari diri sendiri, sekarang dan di lingkungan kita. Jika semua orang telah menyadari dan memulainya, maka tidak menutup kemungkinan bahwa Bumi Petiwi kita akan kembali menjadi lahan yang gemah ripah loh jinawe. Bukan seperti saat ini yang gersang dan gundul karena ulah kita sendiri. Mari bersama-sama membuat Indonesia kita hijau.

2 komentar: