Tema : Investasikan Energimu untuk Bumi
Judul : Aturan Kakek Membuatku Mempunyai Saudara Kembar Raksasa
Sebelum membahas yang serius-serius, lebih baik menceritakan
terlebih dahulu tentang rumahku yang terletak di perbukitan daerah Wonogiri.
Kalau dibandingkan dengan Jakarta, wah...sangat beda jauh, bukan hanya dari
kemoderenan hidup tapi dari segi udara yang bersih berkualitas. Di daerahku
masih hijau dan sejuk , masih banyak pohon-pohon yang berdiri kokoh dan hewan
liar yang masih sering dijumpai. Kalau sudah penat dengan semua tugas kuliah,
liburan di kampung halaman menjadi obat yang paling manjur untuk menyegarkan
kembali pikiran dan hati.
Oiya, berbicara tentang hutan dan kehijauan daerahku, aku sampai
lupa menceritakan saudara kembarku. Tidak seperti aku yang hanya memiliki
tinggi 150cm, saudaraku lebih tinggi berkali-kali lipat lho. Pasti bingung
khan, bagaimana ceritanya aku bisa mempunyai saudara kembar yang raksasa. Dan
yang lebih hebat lagi, semua orang dalam keluarga ku pasti memiliki saudara
kembar raksasa. Eits.....ini nyata bukan sedang bercerita tentang negeri
dongeng yang ada kurcaci dan raksasanya.
Jadi lebih lengkapnya seperti ini, kakekku yang terkenal sangat
disiplin dan tegas memiliki aturan yang unik dalam mendidik putra putrinya,
cucu-cucunya, maupun cicit-cicitnya, termasuk aku.
Setiap anak yang baru lahir dalam keluargaku dari zaman kakek punya
anak pertama sampai sekarangpun kakek mewajibkan untuk menanam satu batang
pohon di ladang ataupun di pekarangan rumah. Artinya setiap satu kehidupan
baru, harus juga diiringi satu kehidupan baru pula. Maka baik ibuku, pamanku,
bibiku, keponakanku pasti mempunyai satu “saudara kembar”.
Pemikiran kakek
pada saat itu bukan untuk reboisasi atau mensukseskan program Go Green
sih, tetapi jika setiap anak mempunyai satu pohon, itu berarti saat dewasa dia
telah memiliki tabungan. Terserah akan dipakai modal untuk berumah tangga atau
akan digunakan untuk membangun rumah, begitulah pemikiran kakekku, sederhana
tetapi ternyata memiliki manfaat yang sangat besar. Tidak hanya sampai disitu,
saat kita memasuki masa kanak - kanak kakek juga mewajibkan kami merawat pohon
tersebut meski baru sederhana, misalnya tidak boleh memangkasnya, harus
membersihkan dari rumput liar, dan kalau musim kemarau harus menyiraminya.
Pasti ada yang
berfikir apakah memang bisa pohon jadi tabungan? atau mungkin pertanyaannya
sebesar apa pohonnya? Kembali pada sosok saudara kembarku, pada saat aku lahir
bibit yang ditanam di timur pekarangan rumahku adalah bibit sengon laut, pohon
sengon yang batang pohonnya berwarna putih di daerahku disebut sengon laut,
mungkin ditempat lain sebutannya berbeda. Tidak hanya pohon sengon laut saja
sebenarnya yang biasanya kami tanam, terkadang pohon jati, pohon kelapa, pohon
mahoni dan sebagainya. Jadi jika dibandingkan dengan orang-orang sedesa,
keluarga kamilah yang memiliki jumlah pohon pribadi paling banyak.
Kalau dihitung-hitung usia saudara kembarku itu juga sama denganku,
yaitu 21 tahun. Tingginya mencapai 25 meter, bahkan lebih, diameternya hampir 1
meter. Pohonnya sampai sekarang masih kokoh menjulang tinggi, saking besarnya
sampai-sampai saya sendiri bingung, jika saya menikah nanti akan saya buat apa
pohon sebesar itu. Mungkin saya akan biarkan saja, siapa tahu akan menjadi
pohon raksasa dan terkenal.
Itulah sepenggal
cerita tentang kebiasaan positif yang diajarkan oleh kakek ku, hal yang jarang
saat ini dijumpai. Banyak orang yang memilih merayakan dan berhura-hura saat
menyambut kelahiran seorang anak dan tanpa terasa hal seperti itu mendidik anak
untuk menjadi orang yang konsumtif, konsumtif terhadap berbagai hal
sampai-sampai memanfaatkan kekayaan alam kalau perlu sampai habis dan mendapat
keuntungan yang berlimpah. Dan jika terjadi tanah longsor, banjir, sungai
meluap dan bencana alam lainnya mereka hanya menyalahkan orang lain. Mengapa
mereka tidak melihat pada diri sendiri? “apakah saya sudah membuang sampah
pada tempatnya?”, “apakah saya telah menjaga kelestarian lingkungan?”, atau
mungkin “apakah saya termasuk orang merusak lingkungan?”.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu wajib kita kembalikan kepada diri kita
sendiri. Terkadang saja kita lupa, sehabis makan cemilan atau permen secara
sengaja ataupun tak sengaja “pluuk”, membuang sampahnya begitu saja.
Apakah kita berfikir, “ah cuma sampah kecil, tidak ada efeknya
untuk lingkungan”. Iya, tidak ada efeknya jika itu sampah organik, tapi
jika yang kita buang sampah plastik, apa yang terjadi? Bumi sih selalu menerima
apa yang kita buang diatasnya, dia tidak mengeluh pada kita sama sekali. Tetapi
yang hidup di atas bumi bukan hanya kita, kalau ada sampah plastik, dimana
cacing akan hidup? kalau cacing tidak hidup, siapa yang akan menyuburkan tanah?
Kalau tanah tidak subur, tanaman tidak akan tumbuh dengan baik dan jika tanaman
tidak tumbuh dengan baik, kita akan memakan apa? Itu baru sebagian dampak yang
ditimbulkan jika kita sama sekali tidak menghargai alam. Alam sudah memberikan
banyak manfaat kepada kita, apakah kita tega selalu merusaknya?
Maka mulai dari sekarang, tidak hanya generasi muda, tapi sampai
yang tua dan anak-anakpun mari bersama-sama menjaga lingkungan. Kalau tidak
bisa menanam satu batang pohon karena keterbatasan lahan, cobalah untuk
membuang sampah pada tempatnya. Yang terpenting adalah menumbuhkan kesadaran
akan menjaga lingkungan mulai dari diri kita sendiri. Karena jika kita tidak
bisa mengubah orang lain untuk mengikuti sebuah aturan yang baik, lebih baik
memulai dari diri sendiri, sekarang dan di lingkungan kita. Jika semua orang
telah menyadari dan memulainya, maka tidak menutup kemungkinan bahwa Bumi
Petiwi kita akan kembali menjadi lahan yang gemah ripah loh jinawe. Bukan
seperti saat ini yang gersang dan gundul karena ulah kita sendiri. Mari
bersama-sama membuat Indonesia kita hijau.
ciee blognya ay baru ^^
BalasHapushehehe..
wiiiiiiiiiiiiiiiiii iya dong :) hehehehehe dibantu menghias ya :)
BalasHapus