Kamis, 15 Maret 2012

Jangan Biarkan Si Kuning Terus Terhanyut


Tema : Investasikan Energimu untuk Bumi
Judul : Jangan Biarkan Si Kuning Terus Terhanyut

            Katanya warna kuning itu lambang persahabatan, bahkan pakar aura berkata bahwa orang yang memiliki aura kuning memiliki pribadi yang periang tetapi labil dan sensitif. Nah....mungkin ada juga beberapa orang yang mengatakan bahwa kuning-kuning identik dengan sesuatu yang menjijikkan, sudah paham khan maksudnya? Okey, terserah apa yang menjadi persepsi kalian yang pasti tulisan ini tidak akan membahas yang menjijikkan, tebak warna, apa lagi membahas tentang tebak aura. Sama sekali bukan itu!
            Judul di atas ada karena keprihatinan saya tentang nasib tragis yang dialami sungai-sungai di seluruh Indonesia Raya tercinta (sedikit berlebihan bahasanya) khususnya lagi di daerah sekitar tempat tinggal saya di Surakarta, terkhusus lagi di Sungai Bengawan Solo dan anak-anak sungainya. Bagaimana tidak prihatin?
Yang pertama, setiap musim penghujan sungai-sungai mirip seperti sebuah meja berjalan yang silih berganti menghidangkan berbagai aneka makanan. Mulai dari ranting kayu sampai pohon yang tumbang, baju yang berwarna-warni (entah itu sengaja di buang di sungai atau terhanyut), kemudian “pelangi” dari plastik-plastik bekas pembungkus makanan yang sepertinya dengan tenang berenang, dan masih banyak lagi aneka pilihannya. Saat kita di tepi sungai, seakan-akan kita tinggal memilih mana yang kita butuhkan atau mana yang berguna untuk kita. Bukankah hal tersebut seperti sebuah meja berjalan agar kita lebih bisa menikmati dan memilih hidangan yang kita suka?
            Kemudian yang kedua, sungai-sungai tersayang kita itu tidak seperti dulu. Kata orang tua dahulu, mereka setiap selesai beraktivitas selalu mandi di sungai. Tapi sekarang? Jangankan mandi, sekedar cuci tangan saja tidak tega membayangkan penyakit kulit yang akan menjangkiti kita. Jangankan melihat bebatuan di dasar sungai, melihat tangan yang kita celupkan saja tidak bisa. Itulah “keindahan” sungai saat ini, bukan berwarna jernih namun seperti jus pisang, berwarna kuning atau bahkan bisa dikatakan coklat. Apa yang membuatnya berwarna kuning seperti itu di musim penghujan?
Air hujan tidak hanya menghanyutkan ranting dan sampah dari tepi sungai, tetapi juga menghanyutkan tanah. Tanah bercampur dengan air sungai, sehingga membuat air sungai menjadi keruh.
            Dan yang ketiga, karena tanah yang dibawa air tersebut akan mengendap ke dasar sungai, akhirnya sungai menjadi dangkal. Jika sungai menjadi dangkal, maka tidak akan menutup kemungkinan jika sungai akan meluap dan akhirnya terjadi banjir, itulah hukum sebab akibat. Siapa yang salah?  Siapa yang dirugikan? Mari bersama-sama kita renungkan...........
Untuk menjawab pertanyaan “siapa yang bersalah?” maka kita harus mencoba memahami bahwa sungai bukan sebuah tempat sampah, sungai tidak bisa memakan plastik, baju-baju, botol bekas dan sebagainya. Semakin banyak sampah yang dibuang di sungai, maka semakin banyak pula masalah yang ditimbulkan, bau busuknya menyabar, banjir dan membuat “penduduk sungai” (ikan, udang dan lainnya) tidak bisa berumur panjang karena pencemaran lingkungannya.
            Dan yang paling penting, jangan biarkan Si Kuning terus terhanyut. Tanah hanyut karena pohon-pohon yang menyokongya sudah tidak ada, pohon-pohon banyak yang ditebang entah dengan alasan apa, sehingga saat musim hujan tanah mudah terkikis atau bahkan mudah terjadi kelongsoran. Jika tanahnya berpindah kesungai, maka akan membuat sungai beralih fungsi. Maksudnya, saat musim kemarau sungai-sungai yang mengering akan menjadi lahan pertanian karena tebalnya tanah dan saat musim penghujan sungai tidak mampu menampung semua air karena dasarnya telah terisi tanah dan akhirnya mudah sekali terjadi banjir.
            Jika kita telisik lebih jauh, semua masalah saling berkaitan dengan perbuatan kita yang terlalu memanfaatkan alam tanpa memperhatikan kebutuhan alam. Saat kita berusaha berfikir bagaimana caranya agar tanah tidak terus menerus terhanyut, maka kita telah memikirkan tentang kegiatan menamam kembali pepohonan khususnya di setiap tepi sungai. Dan itu artinya, kita juga harus sadar bahwa sungai bukan tempat sampah otomatis yang mampu menghilangkan sampah-sampah secara praktis, mudah dan tanpa bersusah payah. Memang, membiasakan suatu perbuatan baik itu sangat susah, sedangkan jika mengikuti perbuatan buruk pasti mudah sekali. Sebenarnya jika kita mampu menjadikan kebiasaan baik itu sebuah kebiasaan, maka tidak akan ada kata-kata “perbuatan baik itu sulit dilakukan”.
Karena setiap tindakan yang kita lakukan entah baik atau buruk akan kembali pada diri kita sendiri, oleh karena itu mari berbuat baik untuk lingkungan tercinta kita agar kita mendapatkan kebaikan pula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar