Tema : Investasikan Energimu untuk Bumi
Judul : Jangan Biarkan Si Kuning Terus Terhanyut
Katanya warna
kuning itu lambang persahabatan, bahkan pakar aura berkata bahwa orang yang
memiliki aura kuning memiliki pribadi yang periang tetapi labil dan sensitif.
Nah....mungkin ada juga beberapa orang yang mengatakan bahwa kuning-kuning
identik dengan sesuatu yang menjijikkan, sudah paham khan maksudnya? Okey,
terserah apa yang menjadi persepsi kalian yang pasti tulisan ini tidak akan
membahas yang menjijikkan, tebak warna, apa lagi membahas tentang tebak aura.
Sama sekali bukan itu!
Judul di atas ada
karena keprihatinan saya tentang nasib tragis yang dialami sungai-sungai di
seluruh Indonesia Raya tercinta (sedikit berlebihan bahasanya) khususnya lagi
di daerah sekitar tempat tinggal saya di Surakarta, terkhusus lagi di Sungai
Bengawan Solo dan anak-anak sungainya. Bagaimana tidak prihatin?
Yang pertama, setiap musim penghujan sungai-sungai mirip seperti
sebuah meja berjalan yang silih berganti menghidangkan berbagai aneka makanan.
Mulai dari ranting kayu sampai pohon yang tumbang, baju yang berwarna-warni
(entah itu sengaja di buang di sungai atau terhanyut), kemudian “pelangi” dari
plastik-plastik bekas pembungkus makanan yang sepertinya dengan tenang berenang,
dan masih banyak lagi aneka pilihannya. Saat kita di tepi sungai, seakan-akan
kita tinggal memilih mana yang kita butuhkan atau mana yang berguna untuk kita.
Bukankah hal tersebut seperti sebuah meja berjalan agar kita lebih bisa
menikmati dan memilih hidangan yang kita suka?
Kemudian yang
kedua, sungai-sungai tersayang kita itu tidak seperti dulu. Kata orang tua
dahulu, mereka setiap selesai beraktivitas selalu mandi di sungai. Tapi
sekarang? Jangankan mandi, sekedar cuci tangan saja tidak tega membayangkan
penyakit kulit yang akan menjangkiti kita. Jangankan melihat bebatuan di dasar
sungai, melihat tangan yang kita celupkan saja tidak bisa. Itulah “keindahan”
sungai saat ini, bukan berwarna jernih namun seperti jus pisang, berwarna
kuning atau bahkan bisa dikatakan coklat. Apa yang membuatnya berwarna kuning
seperti itu di musim penghujan?
Air hujan tidak hanya menghanyutkan ranting dan sampah dari tepi
sungai, tetapi juga menghanyutkan tanah. Tanah bercampur dengan air sungai,
sehingga membuat air sungai menjadi keruh.
Dan yang ketiga,
karena tanah yang dibawa air tersebut akan mengendap ke dasar sungai, akhirnya
sungai menjadi dangkal. Jika sungai menjadi dangkal, maka tidak akan menutup
kemungkinan jika sungai akan meluap dan akhirnya terjadi banjir, itulah hukum
sebab akibat. Siapa yang salah? Siapa
yang dirugikan? Mari bersama-sama kita renungkan...........
Untuk menjawab pertanyaan “siapa yang bersalah?” maka kita
harus mencoba memahami bahwa sungai bukan sebuah tempat sampah, sungai tidak bisa
memakan plastik, baju-baju, botol bekas dan sebagainya. Semakin banyak sampah
yang dibuang di sungai, maka semakin banyak pula masalah yang ditimbulkan, bau
busuknya menyabar, banjir dan membuat “penduduk sungai” (ikan, udang dan
lainnya) tidak bisa berumur panjang karena pencemaran lingkungannya.
Dan yang paling
penting, jangan biarkan Si Kuning terus terhanyut. Tanah hanyut karena
pohon-pohon yang menyokongya sudah tidak ada, pohon-pohon banyak yang ditebang
entah dengan alasan apa, sehingga saat musim hujan tanah mudah terkikis atau
bahkan mudah terjadi kelongsoran. Jika tanahnya berpindah kesungai, maka akan
membuat sungai beralih fungsi. Maksudnya, saat musim kemarau sungai-sungai yang
mengering akan menjadi lahan pertanian karena tebalnya tanah dan saat musim
penghujan sungai tidak mampu menampung semua air karena dasarnya telah terisi
tanah dan akhirnya mudah sekali terjadi banjir.
Jika kita telisik
lebih jauh, semua masalah saling berkaitan dengan perbuatan kita yang terlalu
memanfaatkan alam tanpa memperhatikan kebutuhan alam. Saat kita berusaha
berfikir bagaimana caranya agar tanah tidak terus menerus terhanyut, maka kita
telah memikirkan tentang kegiatan menamam kembali pepohonan khususnya di setiap
tepi sungai. Dan itu artinya, kita juga harus sadar bahwa sungai bukan tempat
sampah otomatis yang mampu menghilangkan sampah-sampah secara praktis, mudah
dan tanpa bersusah payah. Memang, membiasakan suatu perbuatan baik itu sangat
susah, sedangkan jika mengikuti perbuatan buruk pasti mudah sekali. Sebenarnya
jika kita mampu menjadikan kebiasaan baik itu sebuah kebiasaan, maka tidak akan
ada kata-kata “perbuatan baik itu sulit dilakukan”.
Karena setiap tindakan yang kita lakukan entah baik atau buruk akan
kembali pada diri kita sendiri, oleh karena itu mari berbuat baik untuk
lingkungan tercinta kita agar kita mendapatkan kebaikan pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar